Senin, 26 September 2016 - 2 komentar

Alumni Pesantren ?



“Penjara suci”. Begitulah ungkapan yang digunakan untuk mengistilahkan suatu komunitas yang di dalamnya memiliki lingkungan, aktifitas, dan sistem yang sangat berbeda dengan kehidupan pada biasanya. Ungkapan lebih lumrahnya, “Pondok Pesantren”.
Disebut “penjara” karena seseorang yang berada di dalamnya tidak boleh keluar kecuali ketika hari-hari libur, atau karena ada kebutuhan mendesak dan itu pun harus ada izin dari Pengurus atau Pengasuhannya. Jika keluar tanpa izin maka akan dianggap kabur dan akan disangsi, sebagaimana aturan “penjara” yang sebenarnya. Disebut suci karena seseorang yang masuk di dalamnya yang awalnya tidak tahu agama menjadi tahu agama, yang awalnya kurang baik akan menjadi baik, dan mungkin awalnya tidak baik akan menjadi baik. Begitulah komunitas yang pada lumrahnya disebut pondok pesantren. Seseorang yang masuk di dalam disebut santri.
Sebagaimana disebut sebelumnya, bahwa pesantren memiliki lingkungan, aktiftas, dan sistem yang berbeda dengan kehidupan pada biasanya. Dari sisi lingkungan, kehidupan pesantren memang sangat berbeda. Semisal dari penampilannya, semua orang yang berada di dalamnya, setiap hari dan malamnya tidak lepas dari sarung, peci, atau Jas (dibeberapa pondok pesantren). Dari sisi pergaulannya, santri tidak banyak berintraksi dengan banyak orang, kecuali teman-temannya yang juga ada di dalamnya.
Dari sisi aktifitasnya, santri diwajibkan mengikuti pengajian Al-Qur’an atau pun kitab kuning, shalat berjama’ah, shalat malam. Selain itu, ada nasehat yang secara rutin disampaikan oleh pimpinannya, atau yang biasa disebut “kiai”. Nasehat utama yang sering disampaikan adalah harus mengaji dan berakhlakul karimah. Berbagai aktifitas yang kesemuanya itu bertujuan untuk melahirkan seorang kader yang soleh. Sehingga dengan tujuan itu, komunitas ini disebutlah “penjara suci”.
Memang, pesantren merupakan lembaga yang mengupayakan tidak hanya cerdas intelektual dan emosional, bahkan tujuan utamanya adalah cerdas spiritual. Oleh sebab itu, santri harus memiliki ilmu (agama) dan mengamalkannya, harus memiliki prilaku yang baik yang bisa dicontoh oleh orang lain, dan harus memiliki keistiqamahan dalam beribadah. Dengan tujuan itu, diharapkan santri yang sudah keluar dari pesantren atau menjadi alumni harus menjadi orang yang baik dalam segala hal, sehingga orang-orang di luar pesantren meyakini bahwa pesantren memang penjara suci.

Paradigma Masyarakat Tentang Alumni Pesantren


Seseorang yang sudah keluar dari pesantren disebut alumni pesantren. Tentu, seseorang yang sudah pernah berada di pesantren lalu keluar, akan memiliki nilai khusus dari masyarakat. Setiap ucap dan sikapnya tidak lepas dari penilaian masyarakat. Dari itu, jika ada ucap dan sikap yang keliru, akan menjadi masalah bagi masyarakat. Semisal ada komentar, “Padahal si A itu alumni pesantren, tapi sikapnya kok seperti itu”. Berbeda seseorang yang tidak pernah masuk pesantren, jika ada kekeliruan dari sikapnya, paling masyarakat berkomentar, “Biasalah dia begitu, kan bukan alumni pesantren”.
Begitulah masyarakat menilai seorang alumni pesantren. Bagi mereka, alumni pesantren merupakan seseorang yang harus memiliki karakter yang baik, sehingga ucap dan sikapnya pun memancarkan kemuliaan. Namun, penilaian yang menurut mereka baik, lebih banyak didasarkan pada hal-hal yang tampak saja. Sehingga, alumni pesantren yang memiliki nilai kebaikan yang mulia namun tidak tampak, oleh masyarakat tidak dipandang sebagai alumni pesantren yang baik atau sukses.
Contoh penilaian masyarakat yang didasarkan pada hal-hal yang tampak adalah alumni pesantren yang menjadi tokoh masyarakat, seperti kiai yang memiliki pesantren, ustadz yang mengisi ceramah di mana-mana, guru atau dosen, PNS, DPR, Bupati, Gubenur, MPR dan lain sebagainya.
Alumni yang menjadi orang seperti di atas, itulah menurut masyarakat alumni pesantren yang baik dan sukses. Jika kita pahami hal ini, sepertinya kebaikan dan kesuksesan seorang alumni pesantren diukur dari status sosial, pangkat, dan kedudukan. Sementara alumni pesantren yang tidak menjadi orang tersebut, dianggap sebagai alumni yang tidak baik dan tidak sukses. Penilain ini sungguh naif.
Ada lagi penilaian masyarakat yang sungguh sangat tidak pantas, yaitu penilaian yang diukur dari material atau harta. Jadi alumni yang memiliki pekerjaan atau bisnis yang menghasilkan uang banyak dan membuat dia kaya, itulah alumni pesantren yang baik dan sukses, bahkan ada yang beranggapan itu barokah. Sepertinya barokah diduga sesuatu yang berbentuk uang. Sementara alumni pesantren yang hidupnya serba kekurangan dianggap alumni yang tidak sukses dan tidak memiliki barokah. Ini merupakan paradigma yang konyol.
Bukti penilaian itu biasanya kita sering dengar dari pembicaraan masyarakat. Semisal, “Si A itu sekarang menjadi Kiai. Itu baru alumni pesantren yang sukses”, “Setelah si A keluar dari pesantren dapat tiga minggu sudah diundang ceramah ke mana-mana. Dia memang alumni pesantren yang sukses”, “Si A itu sudah jadi PNS. Itu barokah dari pondoknya”, “Sekarang si A itu sudah jadi DPR, sukses dia ya”, dan masih banyak pembicaraan lainnya tentang alumni pesantren yang dinilai dari hal-hal yang tampak seperti itu.
Jika alumni pesantren yang sukses dinilai dari hal-hal di atas, maka alumni yang tidak menjadi orang-orang tersebut dianggap tidak sukses. Itu merupakan paradigma yang harus diluruskan. Sebab, banyak alumni yang sebenarnya sukses, namun kesuksesan itu tidak termasuk pada penilaian hal-hal yang tampak.
Sebenarnya, untuk mengetahui kebaikan dan kesuksesan alumni pesantren dilihat sejauh mana dia tetap istiqomah dalam ibadah, memiliki akhlakul karimah, dan memberi manfaat kepada orang lain. terserah dia mau jadi apa atau siapa. Menjadi kiai atau ustadz tapi tidak memberi manfaat yang jelas, tidak bisa dikatakan alumni yang baik dan sukses. Bisa saja dia menjadi kiai karena ingin memiliki status social, banyak alumni pondok pesantren yang menjadi ustadz yang diundang ke mana-mana, didesa tepat ana tinggal misalnya, jebolan dari pesantren ternama, ternyata isi ceramahnya hanya sekedar kata-katanya saja, tidak menjadi kelakuan diri sendiri. Apalagi hanya sekedar menjadi PNS dan DPR.
Oleh sebab itu, masyarakat harus cerdas menilai alumni pesantren. Jangan sampai menilai alumni dari sisi status social, kedudukan, pangkat, apalagi dari sisi material. Pesantren sama sekali tidak memiliki tujuan seperti itu. Pesantren bertujuan mengkader seseorang menjadi hamba yang soleh. Tentu hamba yang soleh selalu istiqamah dalam ibadah, berakhlakul karimah, dan bisa memberi manfaat kepada orang lain.
Ada paradigma lagi dari masyarakat, yaitu alumni pesantren yg tidak menjadi apa-apa (semisal menjadi pengangguran) atau bahkan menjadi sampah masyarakat (semisal menjadi pencuri, perampok, pecandu narkoba, koruptor dll). Ketika itu semua terjadi, oleh masyarakat yg dianggap salah adalah pondoknya. Hal itu biasa kita denger dari omongan masyarakat. Semisal, “itu si A mondok di pesantren ….. tidak menjadi apa-apa”, “Itu si B mondok di pesantren….. suka keluyuran terus dan jarang solat”, “Itu si C menjadi maling padahal sudah mondok bertahun-tahun”.
Dari komentar tersebut, seolah yang dianggap salah itu pesantrennya. Itu paradigma yg keliru juga. Karena tidak ada pesantren yang mengkader santrinya untuk menjadi pengangguran, maling, tukang keluyuran, pemabuk dan lain sebagainya. Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa tujuan pesantren itu untuk mengkader seseorang menjadi baik dan soleh.
Saya yakin  orang-orang yang dulu  pernah merasakan  manis pahitnya mondok di pesantren, pasti sepakat bahwa pesantren merupakan salah satu tempat yang paling mendewasakan dalam hidupnya.
Pada umumnya, santri memiliki seorang kiyai yang menjadi orang tua di pondok.
Dan sudah sewajarnya seorang santri menghormati kiyai melebih dari segala kehormatan yang dia miliki. Agak lebay memang. Namun demikian yang terjadi. Seorang santri akan nurut apa kata kiyai. Ini merupakan bentuk takdzim seorang santri dalam mencari ilmu.
Bahkan ana yakin jika seorang kiyai menyuruh santrinya terjun kedalam sumur tak berujungpun pasti mereka mau. Hanya saja seorang kiyai sejati tidak akan meminta santrinya terjun ke sumur.
Jika ada seorang kiyai menyuruh ana demikian, ana tidak akan mau. Karena dia bukan kiyai sejati.
Santri dan kiyai itu seperti sepasang sisi mata koin, saling melengkapi.
Santri bukanlah santri tanpa kiyai, dan kiyai belum layak disebut kiyai jika tak memiliki santri. seorang santri akan sakit jika kiyainya disakiti, dan kiyai akan lebih sakit lagi jika santrinya tersakiti.
Lalu kenapa ada alumni yang menjadi pemabuk, maling, pecandu, dan sebagainya? Itu dimungkinkan ada kesalahan dari pihak orang tua, bisa saja uang yang dikirim kepada anaknya ketika di pesantren bukan uang halal. Atau, anaknya sendiri ketika berada di pesantren tidak mengikuti apa-apa yang seharusnya dilakukan di pesantren. Dan jika uang yang dikirim halal dan anaknya sudah mengikuti semua yang diwajibkan di pesantren ternyata setelah pulang menjadi orang yang tidak baik, berarti kita harus kembali pada Allah, bahwa kita sebagai manusia hanya bisa berusaha dan Allah yang menentukan dari semua usaha kita.

2 komentar:

Posting Komentar