Belakangan ini teori flat earth ramai dibicarakan di dunia maya. Ada yang membahas konspirasi dari sudut pandang "ilmiah", ada pula yang mengaitkannya dengan agama. Gara-gara kegaduhan itu, saya jadi ingat hutang saya ke sahabat lama, Eza. Dulu saya pernah berjanji akan membuat tulisan tentang interpretasi sains terhadap ayat-ayat Quran. No, no, no, tulisan ini tidak akan membahas tentang bantahan teori flat earth. Sudah banyak yang menulis bukti-bukti bantahannya. Tentang flat earth, saya cuma mau bilang, as a moslem and scientist I find this offensive. Orang-orang yang percaya flat earth banyak tetotnya.
Pertama, mereka membicarakan sesuatu yang sebenarnya tidak mereka mengerti. Mereka bingung bagaimana orang bisa tahu bumi ini bulat, sedangkan sehari-hari yang mereka lihat adalah cakrawala yang datar. Lalu mereka mendapat sepotong informasi tentang teori bumi datar. Mereka kemudian menjadi tambah bingung, mana yang benar. Dari kebingungan dan ketidaktahuan ini mereka menyusun argumen dari pengalaman sehari-hari untuk menjelaskan hal ini.
Kedua, sebagian orang mungkin sudah memiliki rasa tidak suka pada dunia barat, pemerintah, atau pada sains modern. Atau mungkin juga mereka cuma suka nyeleneh, anti-mainstream, sehingga mereka menolak pengetahuan umum yang diajarkan di sekolah saat ini tentang bumi bulat dengan alasan bahwa apa yang diajarkan di sekolah merupakan bentuk pembodohan massal. Bahwa apa yang diketahui banyak orang saat ini hanya konspirasi untuk menutup-nutupi sesuatu. Bahwa kita semestinya senantiasa curiga dengan hal-hal yang dikerjakan ilmuwan barat. Mirip seperti tudingan beberapa tahun lalu bahwa HAARP adalah alat yang dikembangkan barat sebagai senjata untuk memodifikasi cuaca dan gempa bumi.
Nah celakanya, mereka kemudian mencari dukungan dari keyakinan agama, bahwa teori baru ini telah tertulis dalam kitab suci [catatan kaki: teori flat earth pada mulanya justru berkembang di dunia barat dan banyak dihubungkan dengan ayat-ayat Bible. Teori ini ngetrend lagi di era modern karena digembar-gemborkan oleh the Flat Earth Society. Sayangnya, sebagian muslimin latah, ikut mengait-ngaitkan flat earth dengan ayat Quran tentang bumi yang dihamparkan]. Untuk memperkuat pendapat, mereka bersembunyi di dalam keyakinan, di dalam ayat kitab suci. Bisa jadi mulanya ini dilakukan untuk memperoleh simpati dan dukungan kaum beragama, atau sebaliknya, teori ini disebarkan kaum beragama untuk menunjukkan bahwa kitab suci mereka hebat, bahwa agama mereka memiliki mukjizat ilmiah. Hal ini kemudian menyulut sikap fanatisme beragama: karena sudah tertulis di kitab suci, tentulah teori flat earth ini yang benar. Akhirnya, sulit sekali memberi pengertian pada beberapa orang kalau flat earth ini hanya hoax.
Pola seperti ini telah terjadi berkali-kali. Beberapa tahun lalu sempat heboh paham matahari mengelilingi bumi. Saya sampai dikirimi buku yang menggagas pandangan itu oleh teman SMA yang merasa gregetan. Sama, teori ini juga dibumbui dengan potongan ayat-ayat Quran. Sebelumnya lagi, sempat ramai di medsos ilustrasi pengembangan alam semesta yang diklaim sebagai bukti alam semesta berbentuk sangkakala. Sebelumnya lagi banyak ditanya orang tentang patahan di bulan (biasanya sambil mencantumkan gambar rille/rima Ariadaeus) sebagai bukti bulan terbelah di masa Rasulullah. Sebelumnya lagi ramai membahas surat Yusuf ayat 4 saat Pluto secara resmi tidak disebut planet tahun 2006. Tahun lalu, bahkan saya sempat beradu argumen dengan sesama astronom karena yang bersangkutan menulis buku tentang tafsir Quran, diantaranya adalah tujuh lapis langit yang disebutkan di Quran menurutnya merujuk pada atmosfer.
Lantas apakah saya antipati pada agama? Apakah saya tidak setuju bahwa di dalam ayat-ayat Quran terdapat petunjuk tentang sains?
Bukan begitu, yang saya sayangkan adalah begitu mudahnya Quran dikaitkan dengan sains tanpa kajian yang mendalam. Inginnya menyampaikan sesuatu yang grandeur tentang Quran tapi malah justru akan membuat orang yang mengerti menghela napas dan geleng-geleng kepala. Mengutip dari Hamza Andreas Tzortzis, "Regrettably, the scientific miracles narrative has become an intellectual embarrassment for Muslim apologists".
Kasus seperti flat earth ini umumnya bisa terjadi karena logical fallacy. Atau bahasa gaulnya cocoklogi.
1. A adalah suatu penjelasan ilmiah tentang fenomena B
2. C adalah ayat Quran yang membahas tentang B
Diambillah kesimpulan bahwa A adalah penjelasan ilmiah tentang ayat C.
Hamzah menjelaskan dengan analogi yang gamblang,
1. Agus membutuhkan oksigen untuk bertahan hidup.
2. Kucing saya membutuhkan oksigen untuk bertahan hidup.
Apakah lalu disimpulkan bahwa Agus adalah kucing saya?
Serupa dengan sebelumnya,
1. Atmosfer terdiri dari lapisan-lapisan: fotosfer, stratosfer, ozon, mesosfer, ionosfer, thermosfer, eksosfer. Jika dihitung, ada tujuh.
2. Quran menceritakan tentang tujuh langit berlapis-lapis (2:29; 41:12; 67:3).
Apakah lalu disimpulkan bahwa ayat tersebut membicarakan tentang atmosfer?
Teori flat earth ini malah lebih parah, lebih lemah logikanya.
1. Ada teori tentang bumi datar
2. Quran menceritakan tentang bumi yang dihamparkan (2:22; 15:19)
Apakah lalu disimpulkan bahwa bumi yang dihamparkan sama dengan bumi datar?
Ada cerita lain. Sering saya temui cerita kejayaan sains di era kekhalifahan atau potongan ayat kauniah yang ramai disebarkan di medsos. Mungkin dengan tujuan ingin membangun kebanggaan tentang Islam. Atau mungkin sebagai pengingat diri sendiri bahwa umat Islam di masa lalu pernah membuat peradaban yang begitu hebat, dan sekarang tanggung jawab itu terletak di pundaknya beserta umat Islam yang segenerasi dengannya. Namun seringkali itikad baik ini tidak dibarengi dengan pengetahuan sejarah yang baik.
Beberapa bulan lalu saya mendapati mahasiswa astronomi membagikan gambar disertai komentar kekaguman, aih cool "600 years before Galileo, Al Biruni wrote that the Earth rotates on its axis. Unlike Galileo, his ideas were accepted by religious scholars".
Hello... 1200 tahun sebelum Al Biruni, Aristarchus sudah mengatakan bahwa bumi berotasi pada porosnya dan diterima juga oleh sesama kaum cendekia (saya sengaja tidak menggunakan kata religious scholars). Hanya saja pada waktu itu pemikiran Aristarchus belum bisa dicerna oleh masyarakat karena belum meratanya pendidikan dan penyebaran informasi. Saya kira ini pun juga sama dengan masa Al Biruni, tidak semua masyarakat mengetahui hasil pemikirannya, hanya terbatas pada cendekiawan saja. Dan jangan berbangga ketika ide Galileo ditolak di jamannya karena bertentangan dengan dogma gereja, sedangkan ide Al Biruni diterima oleh ulama muslim. Tengoklah kondisi sekarang, banyak saudara muslim yang menolak sains karena tidak sesuai dengan Quran. Apakah kondisi umat Islam saat ini tidak mirip dengan yang dialami Galileo di masa lalu? Apakah tidak khawatir masyarakat sedang tergiring menuju jaman kegelapan karena gagal membangun scientific mind?
Saya sering terkagum-kagum dengan ayat Quran yang begitu spesifik memilih kata. Bagaimana Quran begitu tepat memilih kata nuuran untuk bulan (10:5; 71:16) yang berarti cahaya yang terpantul/cahaya yang dipinjam dan kata dhiyaa'an untuk matahari yang bersinar terang (10:5). Tapi lalu saya terjebak pada perasaan yang salah. Bahwa pemilihan kata ini merupakan suatu keajaiban Quran, karena di jaman dulu tentu orang belum mengetahui bahwa matahari adalah bintang memancarkan cahayanya sendiri sedangkan bulan hanyalah batu yang memantulkan cahaya matahari. Bagaimana mungkin pengetahuan seperti ini diketahui orang 14 abad yang lalu? Ternyata saya salah. Setelah belajar sejarah astronomi saya tahu Anaxagoras sejak tahun 500 SM sudah menyatakan bahwa bulan memantulkan cahaya matahari. Aristarchus di abad ke-3 sebelum masehi menggunakan fakta ini untuk menghitung jarak bumi-bulan saat gerhana dengan ketelitian 18,57%.
Dulu saya tidak memperhatikan kehebatan kata wa anzalna [a]l hadiida, 'dan kami turunkan besi' (57:25). Saya mengira besi diturunkan seperti rejeki diturunkan, tidak terlihat secara fisik --kita tidak pernah melihat uang jatuh dari langit bukan. Tapi setelah membaca buku-buku tafsir sains-Quran modern, ternyata banyak yang menginterpretasikan ayat ini dengan batu meteorit. Enam persen dari batu meteor yang menyentuh permukaan bumi adalah jenis meteorit besi --sisanya meteorit batu dan meteorit campuran. Sesuai namanya, meteorit ini mengandung 90% hingga 95% besi. Karena besi ini jatuh dari langit, orang menafsirkan anzalna [a]l hadiida sebagai fenomena turunnya batu meteorit besi dari angkasa. Luar biasa bukan, Quran sudah menyebutkan jenis meteorit yang jatuh ke bumi, 12 abad sebelum klasifikasi G. Rose dibuat tahun 1860. Saya terkagum-kagum betapa fakta sains yang terkandung di dalam Quran begitu modern. Sampai akhirnya tahun 2009 saya belajar tentang arkeoastronomi Mesir kuno era 1300-600 SM. Penduduk Mesir kuno menyebut besi sebagai ba-en-pet, yang artinya benda keras dari langit. Saya salah lagi, ayat Quran ternyata tidak semodern itu.
Pencerahan terakhir datang tahun 2010, ketika guru halaqoh semasa SMA menanyakan pendapat saya tentang tafsir surat Yasin 38-40. Nampaknya saat itu beliau sedang berdiskusi dengan sekelompok orang yang menggunakan ayat tersebut sebagai hujjah bahwa matahari dan bulan beredar mengelilingi bumi (bisa dibaca di sini https://goo.gl/9oSIfl ). Saat membuat tulisan itu saya baru menyadari Quran mengunakan kata kerja 'melihat' untuk fenomena yang dapat diindera (melihat langit di atas 50:6, melihat unta bagaimana ia diciptakan 88:17, dst) dan menggunakan kata 'berpikir' untuk hal-hal yang tidak bisa diindera secara langsung (memikirkan penciptaan langit dan bumi 3:191). Saya mendapati bahwa Quran berbicara dari sudut pandang manusia. Peredaran matahari dan bulan yang disebutkan di Quran adalah gerak benda langit jika dilihat dari bumi. Bukan dari angkasa, bukan gerak yang sebenarnya.
Saya pun tercenung, ternyata saya telah memiliki kekaguman dengan alasan yang salah. Ayat-ayat kauniah Quran tidak selalu berbicara tentang sains modern. Saya terlalu meng-underestimate sains abad ke-7 saat saya katakan, "Quran telah menulis sesuatu tentang sains yang seharusnya belum ditemukan di jaman itu". Saya salah. Karena justru Quran menulis ayat kauniah dengan sudut pandang sains yang sudah ada pada jaman itu. Menurut saya ini satu hal yang sangat bijak dan luar biasa. Jika Quran mengatakan bahwa bumi sebenarnya mengelilingi matahari, dan matahari mengelilingi pusat galaksi bima sakti, dan bima sakti pun bergerak dalam gugus lokal galaksi dengan kecepatan 600 km per detik, saya kira justru akan banyak orang yang gagal paham dengan Quran pada masa itu. Tapi Quran justru dengan bijak menerapkan teori geosentris dengan berkali-kali mengulang kata "masing-masing beredar pada orbitnya", "ketetapan", "waktu yang ditentukan" agar manusia melihat, berpikir, mempelajari keteraturan gerak itu, dan pada akhirnya menemukan kebenaran dari hasil pemikirannya sendiri. Bukan dari dogma kitab suci. Quran ingin manusia menjelaskan fenomena gerak langit dengan caranya sendiri. Kini kita temukan karya hebat Abu Abdullah Muhammad bin Jabir al Battani yang dengan tabel al Zij-nya telah menemukan pergeseran posisi matahari di langit sebesar 16,47 derajat akibat presesi bumi. Dari situ al Battani mulai meragukan teori geosentris. Atau karya Abu Ali Hasan bin Hasan bin Haytham yang meragukan teori geosentris Ptolomeus dalam bukunya, as syuquuq al Batlamyus. Atau kehebatan konsep 'Al Tusi-couple' di buku tadhkirah fi 'ilm al-hay'ah yang ditulis Muhammad bin Muhammad al Tusi dan menjadi rujukan Copernicus saat merumuskan heliosentris di halaman ke-64 buku de revolutionibus (bisa dibaca selengkapnya di sini https://goo.gl/qThpE7).
Sungguh naif jika kita mencomot ayat Quran dan secara harfiah menyandingkannya dengan suatu teori sains hanya karena keduanya memiliki kecocokan, memiliki kemiripan saat sepintas dibaca. Quran adalah sesuatu yang harus diyakini, sedangkan sains selalu berangkat dari keraguan. Tidak ada cara lain untuk menyatukannya kecuali setelah melalui kajian yang mendalam. Bukan dengan cocoklogi. Dan janganlah terburu-buru mengklaim mukjizat Quran saat ada ayat kauniah yang tampak mendahului sains di jamannya. Bisa jadi pengetahuan tentang itu memang sudah ada di jaman Nabi saw, hanya kita saja yang tidak tahu karena tidak melek sejarah sains.
Tentu sangat membahagiakan saat membaca buku pak Agus Purwanto yang mampu meng-highlight kata qaalat namlatu di surat an Naml. Pilihan kata yang digunakan Quran menggunakan ism muannats, kata benda perempuan, yang menandakan bahwa semut yang berkata di ayat tersebut adalah semut betina. Hal ini membuat pak Purwanto menyimpulkan bahwa Quran dengan gamblang mengatakan ratu semut berjenis kelamin betina. Tapi bisa jadi pengetahuan jenis kelamin ini sudah diketahui orang jaman terdahulu, bukan pengetahuan yang baru ditemukan di abad ke-20.
Tapi hal ini tidak mengerdilkan mukjizat Quran. Justru menurut saya Quran sangat luar biasa, telah merangkum banyak pengetahuan yang paling up to date di masa itu ke dalam satu naskah. Jangan bayangkan seperti jaman sekarang, kita dapat dengan mudah mengakses informasi dari berbagai belahan dunia. Di masa itu, transfer of knowledge memiliki banyak hambatan, mulai dari jumlah orang yang dapat membaca, jumlah naskah kuno yang masih bertahan, pengetahuan bahasa asing, hingga kendala terbesar: time & geographical barrier. Sungguh hebat bagaimana Quran mampu mengumpulkan informasi dari berbagai peradaban maju di masa lalu yang ditulis dalam bahasa yang sama sekali asing bagi orang Arab tanpa tercampur dengan pseudoscience yang juga berkembang tidak kalah pesat --misalnya tidak ada ayat tentang alchemy di Quran meskipun begitu banyak cendekiawan terobsesi dengan teori mengubah benda menjadi emas (bahkan obsesi ini masih berlanjut hingga abad ke-19).
Dan tidak menutup kemungkinan Quran memilih kata yang dapat memiliki banyak makna. Seperti kata alaqah yang awalnya diartikan sebagai segumpal darah, adalah pemahaman yang beredar luas di kalangan masyarakat Arab pada masa itu. Mereka memang melihat janin seperti gumpalan darah. Namun alaqah juga dapat berarti binatang seperti lintah yang hidup dengan cara menghisap dari makhluk lain. Baik dari segi cara hidup maupun struktur anatomi internal, janin dan lintah memiliki kemiripan. Namun lantas jangan terburu-buru mengklaim bahwa alaqah yang dimaksud adalah lintah. Karena bisa jadi sebenarnya ada makna lain yang masih bisa digali (baca: lebih cocok) dengan kemajuan sains di masa depan. Jangan cocok-cocokkan dengan sains yang ada sekarang.
Kembali ke teori flat earth... Pandangan bumi bulat pertama kali dicetuskan filsuf Yunani Kuno, Pythagoras di abad ke-6 SM. Tapi sudah banyak cendekiawan yang membuktikannya. Erathostenes melihat kelengkungan bumi dari bayangan yang menutupi bulan saat gerhana. Erathostenes juga menjadi orang pertama yang mengukur besarnya bumi dari konsep keliling lingkaran menggunakan sudut bayangan matahari dan jarak kota Syene-Alexandria. Pengukuran ini diulang oleh Khalifah Al Ma'mun di abad ke-9 dengan mengukur jarak kota Tadmur dan al Raqqah di Siria, memberikan hasil yang sama dengan Erathostenes. Abu Rayhan Muhammad ibn Ahmad al Biruni mengukur kelengkungan bumi dengan cara membandingkan waktu terbenamnya matahari dari puncak dan kaki gunung secara simultan. Ahmad ibn Muhammad ibn Kathir al Farghani dan Muhammad bin Musa Al Khawarizmi pun melakukan hal serupa. Mereka tidak serta merta menelan mentah-mentah ayat kauniah Quran tapi berpikir dan berusaha membuktikannya sendiri. Itu yang mendorong kemajuan peradaban Islam di abad ke-9 hingga 13.
Terakhir, ijinkan saya mengutip dari video ini https://goo.gl/XvO44z.
"If you look at the Islamic civilization of the past when the empire expanded, they came in contact with knowledge of the Greeks. They called it the Ancient Knowledge. They could have destroyed the knowledge of the Greeks because it was heavy on mythology, it was heavy with things that had nothing to do with tauhid and so forth. But they did something unbelievable. They spent 300 years translating all the knowledge that came to them from the Greeks. Not only translating it into Arabic, but they edited that work and added to it."
Source : Evan I. Akbar
0 komentar:
Posting Komentar