“Penjara
suci”. Begitulah ungkapan yang digunakan untuk mengistilahkan suatu komunitas
yang di dalamnya memiliki lingkungan, aktifitas, dan sistem yang sangat berbeda
dengan kehidupan pada biasanya. Ungkapan lebih lumrahnya, “Pondok Pesantren”.
Disebut “penjara”
karena seseorang yang berada di dalamnya tidak boleh keluar kecuali ketika
hari-hari libur, atau karena ada kebutuhan mendesak dan itu pun harus ada izin
dari Pengurus atau Pengasuhannya. Jika keluar tanpa izin maka akan dianggap
kabur dan akan disangsi, sebagaimana aturan “penjara” yang sebenarnya. Disebut
suci karena seseorang yang masuk di dalamnya yang awalnya tidak tahu agama
menjadi tahu agama, yang awalnya kurang baik akan menjadi baik, dan mungkin
awalnya tidak baik akan menjadi baik. Begitulah komunitas yang pada lumrahnya
disebut pondok pesantren. Seseorang yang masuk di dalam disebut santri.
Sebagaimana disebut
sebelumnya, bahwa pesantren memiliki lingkungan, aktiftas, dan sistem yang
berbeda dengan kehidupan pada biasanya. Dari sisi lingkungan, kehidupan
pesantren memang sangat berbeda. Semisal dari penampilannya, semua orang yang
berada di dalamnya, setiap hari dan malamnya tidak lepas dari sarung, peci,
atau Jas (dibeberapa pondok pesantren). Dari sisi pergaulannya, santri tidak
banyak berintraksi dengan banyak orang, kecuali teman-temannya yang juga ada di
dalamnya.
Dari sisi
aktifitasnya, santri diwajibkan mengikuti pengajian Al-Qur’an atau pun kitab
kuning, shalat berjama’ah, shalat malam. Selain itu, ada nasehat yang secara
rutin disampaikan oleh pimpinannya, atau yang biasa disebut “kiai”. Nasehat
utama yang sering disampaikan adalah harus mengaji dan berakhlakul karimah.
Berbagai aktifitas yang kesemuanya itu bertujuan untuk melahirkan seorang
kader yang soleh. Sehingga dengan tujuan itu, komunitas ini disebutlah
“penjara suci”.
Memang,
pesantren merupakan lembaga yang mengupayakan tidak hanya cerdas intelektual
dan emosional, bahkan tujuan utamanya adalah cerdas spiritual. Oleh sebab itu,
santri harus memiliki ilmu (agama) dan mengamalkannya, harus memiliki prilaku
yang baik yang bisa dicontoh oleh orang lain, dan harus memiliki keistiqamahan
dalam beribadah. Dengan tujuan itu, diharapkan santri yang sudah keluar dari
pesantren atau menjadi alumni harus menjadi orang yang baik dalam segala hal,
sehingga orang-orang di luar pesantren meyakini bahwa pesantren memang penjara
suci.
Paradigma
Masyarakat Tentang Alumni Pesantren
Seseorang
yang sudah keluar dari pesantren disebut alumni pesantren. Tentu, seseorang
yang sudah pernah berada di pesantren lalu keluar, akan memiliki nilai khusus
dari masyarakat. Setiap ucap dan sikapnya tidak lepas dari penilaian
masyarakat. Dari itu, jika ada ucap dan sikap yang keliru, akan menjadi masalah
bagi masyarakat. Semisal ada komentar, “Padahal si A itu alumni pesantren,
tapi sikapnya kok seperti itu”. Berbeda seseorang yang tidak pernah masuk
pesantren, jika ada kekeliruan dari sikapnya, paling masyarakat berkomentar, “Biasalah
dia begitu, kan bukan alumni pesantren”.
Begitulah
masyarakat menilai seorang alumni pesantren. Bagi mereka, alumni pesantren
merupakan seseorang yang harus memiliki karakter yang baik, sehingga ucap dan
sikapnya pun memancarkan kemuliaan. Namun, penilaian yang menurut mereka baik,
lebih banyak didasarkan pada hal-hal yang tampak saja. Sehingga, alumni
pesantren yang memiliki nilai kebaikan yang mulia namun tidak tampak, oleh
masyarakat tidak dipandang sebagai alumni pesantren yang baik atau sukses.
Contoh
penilaian masyarakat yang didasarkan pada hal-hal yang tampak adalah alumni
pesantren yang menjadi tokoh masyarakat, seperti kiai yang memiliki pesantren,
ustadz yang mengisi ceramah di mana-mana, guru atau dosen, PNS, DPR, Bupati,
Gubenur, MPR dan lain sebagainya.
Alumni yang
menjadi orang seperti di atas, itulah menurut masyarakat alumni pesantren yang
baik dan sukses. Jika kita pahami hal ini, sepertinya kebaikan dan kesuksesan
seorang alumni pesantren diukur dari status sosial, pangkat, dan kedudukan.
Sementara alumni pesantren yang tidak menjadi orang tersebut, dianggap sebagai
alumni yang tidak baik dan tidak sukses. Penilain ini sungguh naif.
Ada lagi
penilaian masyarakat yang sungguh sangat tidak pantas, yaitu penilaian yang
diukur dari material atau harta. Jadi alumni yang memiliki pekerjaan atau
bisnis yang menghasilkan uang banyak dan membuat dia kaya, itulah alumni
pesantren yang baik dan sukses, bahkan ada yang beranggapan itu barokah.
Sepertinya barokah diduga sesuatu yang berbentuk uang. Sementara alumni
pesantren yang hidupnya serba kekurangan dianggap alumni yang tidak sukses dan
tidak memiliki barokah. Ini merupakan paradigma yang konyol.
Bukti
penilaian itu biasanya kita sering dengar dari pembicaraan masyarakat. Semisal,
“Si A itu sekarang menjadi Kiai. Itu baru alumni pesantren yang sukses”,
“Setelah si A keluar dari pesantren dapat tiga minggu sudah diundang ceramah ke
mana-mana. Dia memang alumni pesantren yang sukses”, “Si A itu sudah jadi PNS.
Itu barokah dari pondoknya”, “Sekarang si A itu sudah jadi DPR, sukses dia ya”,
dan masih banyak pembicaraan lainnya tentang alumni pesantren yang dinilai
dari hal-hal yang tampak seperti itu.
Jika alumni
pesantren yang sukses dinilai dari hal-hal di atas, maka alumni yang tidak
menjadi orang-orang tersebut dianggap tidak sukses. Itu merupakan paradigma
yang harus diluruskan. Sebab, banyak alumni yang sebenarnya sukses, namun
kesuksesan itu tidak termasuk pada penilaian hal-hal yang tampak.
Sebenarnya,
untuk mengetahui kebaikan dan kesuksesan alumni pesantren dilihat sejauh mana
dia tetap istiqomah dalam ibadah, memiliki akhlakul karimah, dan memberi
manfaat kepada orang lain. terserah dia mau jadi apa atau siapa. Menjadi kiai
atau ustadz tapi tidak memberi manfaat yang jelas, tidak bisa dikatakan alumni
yang baik dan sukses. Bisa saja dia menjadi kiai karena ingin memiliki status
social, banyak alumni pondok pesantren yang menjadi ustadz yang diundang ke
mana-mana, didesa tepat ana tinggal misalnya, jebolan dari pesantren ternama, ternyata
isi ceramahnya hanya sekedar kata-katanya saja, tidak menjadi kelakuan diri
sendiri. Apalagi hanya sekedar menjadi PNS dan DPR.
Oleh sebab
itu, masyarakat harus cerdas menilai alumni pesantren. Jangan sampai menilai
alumni dari sisi status social, kedudukan, pangkat, apalagi dari sisi material.
Pesantren sama sekali tidak memiliki tujuan seperti itu. Pesantren bertujuan
mengkader seseorang menjadi hamba yang soleh. Tentu hamba yang soleh selalu
istiqamah dalam ibadah, berakhlakul karimah, dan bisa memberi manfaat kepada
orang lain.
Ada
paradigma lagi dari masyarakat, yaitu alumni pesantren yg tidak menjadi apa-apa
(semisal menjadi pengangguran) atau bahkan menjadi sampah masyarakat (semisal
menjadi pencuri, perampok, pecandu narkoba, koruptor dll). Ketika itu semua
terjadi, oleh masyarakat yg dianggap salah adalah pondoknya. Hal itu biasa kita
denger dari omongan masyarakat. Semisal, “itu si A mondok di pesantren …..
tidak menjadi apa-apa”, “Itu si B mondok di pesantren….. suka keluyuran
terus dan jarang solat”, “Itu si C menjadi maling padahal sudah mondok
bertahun-tahun”.
Dari
komentar tersebut, seolah yang dianggap salah itu pesantrennya. Itu paradigma
yg keliru juga. Karena tidak ada pesantren yang mengkader santrinya untuk
menjadi pengangguran, maling, tukang keluyuran, pemabuk dan lain sebagainya.
Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa tujuan pesantren itu untuk mengkader
seseorang menjadi baik dan soleh.
Saya yakin orang-orang yang
dulu pernah merasakan manis pahitnya mondok di pesantren, pasti
sepakat bahwa pesantren merupakan salah satu tempat yang paling mendewasakan
dalam hidupnya.
Pada umumnya, santri memiliki seorang kiyai yang menjadi orang tua
di pondok.
Dan sudah sewajarnya seorang santri menghormati kiyai melebih dari
segala kehormatan yang dia miliki. Agak lebay memang. Namun demikian yang terjadi.
Seorang santri akan nurut apa kata kiyai. Ini merupakan bentuk takdzim seorang
santri dalam mencari ilmu.
Bahkan ana yakin jika seorang kiyai menyuruh santrinya terjun
kedalam sumur tak berujungpun pasti mereka mau. Hanya saja seorang kiyai sejati
tidak akan meminta santrinya terjun ke sumur.
Jika ada seorang kiyai menyuruh ana demikian, ana tidak akan mau.
Karena dia bukan kiyai sejati.
Santri dan kiyai itu seperti sepasang sisi mata koin, saling
melengkapi.
Santri bukanlah santri tanpa kiyai, dan kiyai belum layak disebut
kiyai jika tak memiliki santri. seorang santri akan sakit jika kiyainya
disakiti, dan kiyai akan lebih sakit lagi jika santrinya tersakiti.
Lalu kenapa
ada alumni yang menjadi pemabuk, maling, pecandu, dan sebagainya? Itu dimungkinkan
ada kesalahan dari pihak orang tua, bisa saja uang yang dikirim kepada anaknya
ketika di pesantren bukan uang halal. Atau, anaknya sendiri ketika berada di
pesantren tidak mengikuti apa-apa yang seharusnya dilakukan di pesantren. Dan
jika uang yang dikirim halal dan anaknya sudah mengikuti semua yang diwajibkan
di pesantren ternyata setelah pulang menjadi orang yang tidak baik, berarti
kita harus kembali pada Allah, bahwa kita sebagai manusia hanya bisa berusaha
dan Allah yang menentukan dari semua usaha kita.
2 komentar:
BAgus tulisannya, Zer.!
hehe :)
Posting Komentar