Jum’at secara bahasa bermakna satu pokok yang menunjukkan
berkumpulnya sesuatu. Dan disebut hari jum’at karena orang-orang yang
jumlahnya banyak berkumpul pada hari itu. (al Nihayah: 1/297)
Sedangkan secara istilah, Jum’at adalah nama dari salah satu hari dalam
sepekan, yang pada hari itu dikerjakan shalat khusus, yaitu shalat
Jum’at. Dan dikatakan shalat khusus karena pelaksanaannya berbeda dengan
shalat liwa waktu, khususnya shalat dzuhur.
Pada shalat Jum’at bacaannya jahr, jumlah rakaatnya hanya dua, diawali
dengan khutbah, dan memiliki beberapa keistimwaan pahala.
Hari Jum’at pada masa jahiliyah dikenal dengan nama الْعَرُوبَة (al
’arubah), karena mereka mengagungkannya. Orang pertama yang menyebut
al-’Arubah adalah Ka’ab bin Lua-i. Pada hari itu, orang-orang Quraisy
biasa berkumpul padanya lalu dia menyampaikan ceramah seraya memberikan
nasihat dan memerintahkan mereka untuk mengagungkan tanah haram. Dia
juga mengabarkan kepada mereka dari sana akan ada Nabi yang diutus.
Dari sini semakin jelaslah bahwa hari Jum’at belum masyhur pada masa
jahiliyah. Maka tepatlah yang diungkapkan oleh Ibnu Hazm rahimahullah,
“bahwa jum’at adalah nama Islami yang tidak dikenal pada masa jahiliyah.
Pada masa itu, hari Jum’at dinamakan dengan al-arubah.” (Fathul Baari:
3/275 dari Maktabah Syamilah)
Tentang sebab dinamakan hari tersebut dengan Jum’at, banyak pendapat yang memberikan alasan, di antaranya:
* Karena berkumpulnya banyak orang pada hari itu.
* Karena Adam dan Hawa berkumpul pada hari itu.
* Karena di dalamnya berkumpul berbagai kebaikan.
* Karena pada hari itu kesempurnaan makhluk dikumpulkan.
* Karena manusia berkumpul pada hari itu untuk shalat.
* Karena penciptaan Adam dikumpulkan pada hari itu
Dalam Islam, hari Jum’at merupakan hari mulia yang penuh keutamaan.
Di hari ini, kaum muslimin disyariatkan banyak beramal ibadah. Dan
Jum’at merupakan hari raya pekanan bagi umat Islam. Namun tahukah anda
mengapa hari istimewa ini dinamakan Jum’at?
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan dalam Tafsir-nya, penamaan
al-Jumu’ah berasal dari kata jum’atun, yang terambil dari akar kata
al-jam’u. Mengapa demikian? Karena pada hari itu kaum muslimin berkumpul
(setiap pekan) sekali di tempat-tempat peribadahan yang besar.
Dalam sebuah hadits dari Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Wahai Salman, apakah
hari Jum’at itu?” Salman menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam menjelaskan,
“Hari ketika dikumpulkan (dipertemukannya) kedua orang tua kalian
(Adam dan Hawa).” (HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrak [1/277]. Al-Haitsami
mengatakan dalam al-Majma’ [2/174], “Riwayat ath-Thabari dalam al-Kabir
dan sanadnya hasan.”)
Dijelaskan pula oleh Ibnu Katsir rahimahullah, dahulu hari tersebut dinamakan Yaumul ‘Urubah.
Sesungguhnya, umat-umat terdahulu telah memiliki pilihan hari. Kaum
Yahudi memilih hari Sabtu. Kaum Nasrani memilih hari Ahad. Adapun umat
ini dipilihkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala hari Jum’at. Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan orang-orang beriman agar
berkumpul pada hari Jum’at untuk beribadah kepada-Nya. Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat
pada hari Jum’at, bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli. Hal itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui.” (al-Jumu’ah: 9)
Keistimewaan Hari Jum’at
Hari Jum’at memiliki kedudukan yang sangat mulia dalam syariat Islam
dan mempunyai keistimewaan yang tidak ada pada hari-hari yang lain.
Berikut beberapa keistimewaan hari Jum’at.
1. Hari raya umat Islam yang terulang-ulang setiap pekan
Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda pada suatu
Jum’at,
“Wahai segenap kaum muslimin, sesungguhnya ini adalah hari yang
dijadikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai hari raya bagi kalian.”
(HR. Ath-Thabarani dalam al-Mu’jam ash-Shaghir dan dinyatakan shahih
oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’)
2. Terjadinya hari kiamat pada hari Jum’at
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
“Sebaik-baik hari yang terbit matahari pada waktu itu adalah hari
Jum’at. Pada hari itu Adam diciptakan, dimasukkan ke dalam surga, dan
dikeluarkan dari surga. Tidak akan terjadi kiamat selain pada hari
Jum’at.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
3. Orang yang mati pada hari Jum’at atau malam Jum’at akan dihindarkan dari fitnah (pertanyaan) kubur
Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
“Tiada seorang muslim yang mati pada hari Jum’at atau malamnya
kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menghindarkannya dari fitnah
kubur.” (HR. Ahmad dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma. Dalam
Ahkam al-Janaiz, asy-Syaikh al-Albani menyatakannya hasan atau shahih
dengan banyaknya jalan periwayatan)
4. Diharamkan menyendirikan puasa pada hari Jum’at tanpa dibarengi oleh puasa sehari sebelum atau setelahnya
Hal ini berlandaskan hadits Juwairiyyah radhiyallahu ‘anha, istri
Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam. Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam
masuk kepadanya hari Jum’at dalam keadaan dia radhiyallahu ‘anha sedang
berpuasa. Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam bertanya, “Apakah kamu puasa
kemarin?” Juwairiyah menjawab, “Tidak.” Nabi shallallahu ‘alaihi
wassalam bertanya lagi, “Apakah kamu ingin puasa esok hari?” Juwairiyah
menjawab, “Tidak.” Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam berkata,
“Berbukalah kamu!” (HR. Al-Bukhari no. 1986)
5. Ada saat yang mustajab/dikabulkan bagi orang yang berdoa
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam menyebutkan hari Jum’at lalu bersabda,
“Pada hari itu ada saat yang tidaklah seorang hamba muslim bertepatan
dengannya dalam keadaan dia berdiri shalat yang ia meminta sesuatu
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala melainkan akan dikabulkan oleh-Nya.”
(HR. Al-Bukhari no. 935)
Saat yang mustajab dari hadits ini diperselisihkan waktunya oleh
ulama. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan ada 42 pendapat.
Dari pendapat sebanyak itu, yang dikuatkan oleh al-Hafizh ada dua, yaitu
antara duduknya imam di atas mimbar hingga selesai shalat Jum’at, dan
pendapat yang kedua adalah setelah shalat ashar hingga tenggelamnya
matahari. (Fathul Bari 2/416-420)
Setelah menyebutkan bukti-bukti bahwa saat yang mustajab itu setelah
ashar, Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan, “Ini adalah pendapat
mayoritas salaf, dan banyak hadits menunjukkan pendapat ini. Pendapat
berikutnya adalah saat shalat Jum’at. Adapun pendapat selebihnya tidak
ada dalilnya.”
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan, waktu yang dikhususkan
adalah akhir waktu setelah ashar, yaitu waktu tertentu di hari Jum’at
yang tidak maju dan tidak mundur. Adapun waktu shalat Jum’at maka
mengikuti shalat tersebut baik maju pelaksanaannya maupun mundur. Beliau
menyebutkan bahwa berkumpulnya kaum muslimin, shalat mereka,
kekhusyukan dan permohonan mereka kepada Allah shallallahu ‘alaihi
wassalam, memiliki pengaruh kuat untuk dikabulkannya doa. (Zadul Ma’ad)
Masih banyak keistimewaan hari Jum’at yang tidak bisa ditampilkan
seluruhnya di sini karena keterbatasan ruang. Ibnul Qayyim rahimahullah
menyebutkan sekian puluh keistimewaan dalam kitabnya Zadul Ma’ad jilid
pertama. Bahkan, as-Suyuthi rahimahullah menulis kitab khusus tentang
keistimewaan hari Jum’at yang beliau beliau beri judul Nurul Lum’ah fi
Khashaish Yaumil Jumu’ah.
Hanya saja, orang yang membacanya perlu jeli dan hati-hati karena
as-Suyuthi tidak hanya memuat hadits/atsar yang kuat tetapi juga yang
lemah, bahkan maudhu’ (palsu). Wallahu a’lam
Jumat, 16 Januari 2015 -
Pengetahuan
0
komentar
ADA APA DENGAN JUM’AT?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar