Sabtu, 03 Januari 2015 - 0 komentar

KENAPA MERAYAKAN MAULID NABI?

     
  Setiap tiba tanggal 12 Rabiul Awal, biasanya masyarakat Muslim tradisional di masjid-masjid perkampungan, duduk bersimpuh melingkar, lalu seseorang atau beberapa orang membacakan teks Barzanji, yang pada bagian tertentu disahuti oleh jamaah lainnya secara bersamaan. Sebenarnya bukan hanya di perkampungan, tetapi di mana saja, setiap tanggal 12 bulan Rabiul Awal hingga sepanjang bulan berikutnya, umat Islam di Indonesia dan di negeri-negeri lainnya di seluruh dunia pada umumnya menyambut hari lahir sang panutan, Nabi Muhammad SAW.
Di Banten, misalnya, ribuan orang mendatangi kompleks Masjid Agung Banten yang terletak 10 km arah utara pusat Kota Serang. Mereka berziarah ke makam para sultan, antara lain Sultan Hasanuddin, secara bergiliran. Sebagian di antaranya berendam di kolam masjid itu, konon katanya, untuk mendapat berkah. Ada di antara mereka yang sengaja mengambil air kolam tersebut untuk dibawa pulang sebagai obat. Perbuatan ini tentu tidak ada dasarnya di dalam Al Quran dan Sunnah.
          Di Cirebon, pada tanggal 11-12 Rabiul Awal banyak orang Islam datang ke makam Sunan Gunung Jati, salah seorang dari wali sanga, penyebar agama Islam di kawasan Jawa Barat dan Banten. Biasanya di Keraton Kasepuhan diselenggarakan upacara Panjang Jimat, yakni memandikan pusaka-pusaka keraton peninggalan Sunan Gunung Jati. Banyak orang berebut untuk memperoleh air bekas cucian tersebut, karena dipercaya akan membawa keberuntungan. Ini jelas syirik yang wajib dikikis habis. Di Cirebon, Yogyakarta, dan Surakarta, perayaan maulid dikenal dengan istilah sekaten. Istilah ini berasal dari kata syahadatain, yaitu dua kalimat syahadat. Kemeriahan serupa juga bisa didapati di Sumatera Barat, Aceh, Lombok, dan tempat-tempat lainnya di Indonesia. Namun, selain peringatan maulid secara meriah dengan melibatkan massa dalam jumlah besar, berlangsung pula perayaan maulid di masjid-masjid kecil yang melibatkan sekelompok kecil masyarakat.

Kitab Al-Barjanzi

          Dalam rangkaian acara itu, baik yang akbar maupun yang biasa-biasa saja, ada satu sesi yang tidak pernah tertinggal bahkan seolah menjadi syaral penting, yaitu pembacaan karya tulis Kitab al-Barzanji. Barzanji adalah karya tulis seni sastra yang isinya mengungkap sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW. mencakup silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, pemuda, hingga diangkat menjadi Rasul.
          Karya tulis dalam bahasa Arab ini juga mengisahkan sifat-sifat mulia Nabi Muhammad dan akhlak-akhlak luhurnya sebagai utusan Allah, serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia, khususnya umat Islam. Nama Barzanji diambil dari nama pengarang naskah tersebut yakni Syekh Ja’far al-Barzanji bin Husin bin Abdul Karim, Dia lahir di Madinah pada tahun 1690 dan meninggal tahun 1766, Barzanji berasal dari nama sebuah tempat di Kurdistan, Barzinj.
Karya tulis tersebut sebenarnya berjudul ‘Iqd al-Jawahir (Kalung Permata) yang disusun untuk meningkatkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW. Tetapi kemudian lebih terkenal dengan nama penulisnya. Pada perkembangan berikutnya, vpembacaan Barzanji di kalangan Muslim tradisional, dilakukan pada berbagai momentum sebagai sebuah pengharapan untuk pencapaian sesuatu yang lebih baik. Misalnya pada saat kelahiran bayi, mencukur rambut bayi (akikah), acara khitanan, pernikahan, dan upacara lainnya.
          Untuk mendapatkan buku itu tidaklah sukar. Bahkan sekarang ini sudah banyak beredar dengan terjemahannya. Pada sebagian masyarakat, pembacaan Barzanji juga dilakukan bersamaan dengan “diestafetkannya” bayi yang baru dicukur selama satu putaran dalam lingkaran. Sementara baju atau kain orang-orarig yang sudah memegang bayi tersebut, kemudian disemprot atau diberi setetes dua tetes minyak wangi. Namun saat ini perayaan maulid seperti itu sudah berkurang dan lebih terfokus di pesantren-pesantren kalangan Nahdlatul Ulama (Nahdliyin).

Awal Mula Peringatan Maulid

          Menurut catatan sejarah, peringatan maulid Nabi Muhammad SAW pertama kali diperkenalkan seorang penguasa Dinasti Fatimiyah (909-117 M). Jauh sebelum al-Barzanji lahir dan menciptakan puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Langkah ini secara tidak langsung dimaksudkan sebagai sebuah penegasan kepada khalayak, bahwa dinasti ini betul-betul keturunan Nabi Muhammad SAW. Setidaknya ada dimensi politis dalam kegiatan tersebut.
         Peringatan maulid kemudian menjadi sebuah upacara yang kerap dilakukan umat Islam di berbagai belahan dunia. Hal itu terjadi setelah Abu Sa’id al-Kokburi, Gubernur Irbil, Irak, mempopulerkannya pada masa pemerintahan Sultan Shalahuddin al-Ayyubi (1138-1193M). Waktu itu tujuannyauntuk memperkokoh semangat keagamaan umat Islam umumnya, khususnya mental para tentara yang lengah bersiap menghadapi serangan tentara Salib dari Eropa, yang ingin merebut tanah suci Jerusalem dari tangan kaum Muslimin.
          Menurut sumber lain, orang pertama yang mencetuskan ide memperingati maulid Nabi SAW justru Malik Mudzaffar Abu Said, yang lebih dikenal sebagai Sultan Shalahuddin al-Ayyubi (orang Inggris menyebutnya Saladin). Pemuka Islam yang kharismatik ini pernah mengundang pujangga terkenal AI-Hafidz Ibnu Dahiah untuk menggubah naskah riwayat singkat perjuangan Nabi Muhammad SAW. Naskah itu kemudian diberi judul At-Janwir If Maulid al-Basyir an-Nashir dan Ibnu Dahiah diberi honorarium 1000 dinar.
          Peringatan maulid perdana yang diadakan oleh Malik Mudzaffar ternyata menimbulkan surprise pada banyak kalangan. Betapa tidak! Kala itu Malik mengundang para ulama, para sufi dan kalangan pemuka dan pembesar beserta masyarakat Islam lainnya untuk ikut menyemarakkan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW tersebut. Dalam peringatan besar-besaran itu di sembelih 5OOO ekor kambing, 1O.OOO ekor ayam dan dimasak 1OOO.OOO roti bermentega. Konon biaya keseluruhan peringatan itu mencapai 3OOO.OOO dinar, selain honorarium penulisan naskah di atas. (HA Fuad Said, Yayasan Masagung, 1985).
          Dalam peringatan itu seorang sufi terkenal. Syekh Hasan Bashri berkomentar: “Seandainya saya memiliki mas sebesar bukit Uhud niscaya akan saya sumbangkan seluruhnya untuk keperluan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW….” Banyak kalangan berpendapat bahwa ungkapan dan pujian tersebut tidak berlebihan kalau diukur dan dibandingkan dengan koberhasilan Nabi Muhammad SAW membawa manusia dari peradaban jahili menuju peradaban islami.

Sikap Pro dan Kontra

             Namun penyelenggaraan peringatan maulid Nabi Muhammad bukan tanpa masalah, Sepanjang sejarahnya, sikap pro dan kontra terhadap Eradisi ini selalu timbul. Ulama mazhab Syafi’i secara legas mengungkapkan dukungan dan menganggap hal itu sebagai sesuatu yang sah-sah saja dilakukan, Tetapi ulatna dari mazhab Maliki menolak dengan berbagai argumentasi.
Kedua pihak menyampaikan pemikiran melalui kitab-kitab yang mereka tulis secara panjang lebar. Belakangan “kaum reformis” seperti golongan Wahhabi pun menyatakan peringatan itu sebagai perbualan mengada-ada atau bid’ah (Enton Supriyatna). Perdebatan dan sikap pro-kontra tersebut sampai pula ke Indonesia. Tidak jarang perbedaan pendapat soal yang satu ini diteruskan dengan perang mulut atau saling ejek.
              Tema ini satu paket dengan soal tahlilan ketika ada yang meninggal atau doa qunut saat shalat subuh. Bahkan di beberapa tempat merambah juga ke persoalan boleh tidaknya di masjid ada bedug. Pernah lerjadi perbedaan pendapat soal bedug, mengakibatkan sejumlah kulit bedug dirobek pihak yang menolak keberadaan alat penanda waktu shalat tersebut
Jika dilacak lewat berbagai dokumentasi, selisih paham tentang peringatan maulid yang cukup tajam terjadi dalam rentang waktu sebelum tahun 1970-an. Pada era sekarang perbedaan itu tidak terlalu menonjol, namun tetap tidak menghilang dari wacana kaum Muslimin. Secara sporadis diskusi terbuka tentang peringatan maulid nabi muncul dalam ruang yang terbatas.
           Salah satu sasaran kritik terhadap perayaan maulid Nabi di Indonesia, adalah masuknya nilai-nilai lain yang justru dianggap akan merusak makna maulid itu sendiri. Misalnya kegiatan peringatan itu bercampur dengan upacara-upacara berbau mistik atau tradisi khas budaya Islam Jawa, atau digelarnya panggung hiburan yang mempertontonkan sesuatu yang berlawanan dengan nilai yang dibawa Nabi Muhammad, seperti dangdut erotis, judi, memandikan pusaka yang dianggap jimat, dan hal lainnya.
          Al Quran memang tidak memerintahkan secara ekspiisit agar umat Islam mem peri ngati maulid Nabi Muhammad setiap tanggal 12 Rabiul Awal dengan perayaan atau seremonial tertentu. Allah dan RasulNya juga tidak memerintahkan umat Islam setiap tahun mem peri ngati hari Hijrah, hari Isra’ Mi’raj, hari watat Nabi dan hari-hari bersejarah lainnya. Namun andaikata peringatan maulid Nabi itu diadakan dengan cara-cara yang islami dan dengan tujuan yang postif untuk syi’ar dan dakwah agama, tentunya perbuatan itu bukan termasuk bid’ah. Sebab yang dapat dikatakan bid’ah menurut kesepakatan Ulama hanyalah melakukan rekayasa dalam ibadah mahdhah, seperti shalat fardhu, sedangkan memperingati maulid Nabi Muhammad bukan termasuk ibadah mahdhah.
Firman Allah: “Semua kisah para Rasul, Kami ceritakan kepadamu; yaitu kisah-kisah yang derigannya Kami teguhkan hatimu; telah datang kepadamu kebenaran, pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.” (QS Hud : 120)
         Ayat ini memberi pengertian kepada kita, bahwa membaca dan membacakan kisah para Rasul Allah serta mengambil hikmah darinya, dapat meneguhkan iman kita. Dengan demikian, mengadakan peringatan maulid Nabi SAW dengan cara mengungkapkan kembali kisah perjuangannya termasuk manifestasi mengamalkan firman Allah tadi.

Pembaruan Pandangan Hidup

         Nabi Muhammad merupakan sosok pemimpin yang diutus di tengah-tengah masyarakat ‘barbar’ yang sama sekali tidak mengenal kode etik kemanusiaan. Masyarakat kala itu tidak mempunyai pandangan hidup yang jelas. Akidah kabur, moral bejat, wanita hanya menjadi komoditi kepuasan natsu rendah dan serakah dan lain sebagainya. Tegasnya, abad itu di kenal dengan sebutan dark ages, di mana yang kuat menindas yang lemah, sementara yang berkuasa menunggang rakyatnya.
       Dengan diutusnya Nabi Muhammad SAW oleh Allah dalam waktu yang relatif singkat, yaitu 23 tahun (13 tahun di Makkah, 11 di Madinah), masyarakat Arab yang sama sekali tidak mengenal tatakrama kehidupan itu dengan izin Allah ternyata berubah secara drastis. Mereka ternyata bersatu. Yang semula menjadi lawan akhirnya menjadi kawan dan bersaudara di bawah panji-panji Tauhid, Juga yang semula kacau dan bermusuhan, akhirnya menjadi tenang dan damai. Yang semula takabur akhirnya menjadi rendah hati. Mereka dapat bersatu bukan karena faktor nasionalisme, tetapi karena faktor akidah, di bawah panji-panji Islam yang memiliki prinsip ajaran universal dan kosmopolitan (rahmatan lil ‘alamin).
       Tak berlebihan apayang dikatakan Syekh Khaiil Yasin di dalam bukunya, Muhammad ‘Inda al- Viama-ial-Harb, dengan mengutip pendapat George Toldes bahwa dengan datangnya Muhammad, kebiadaban dan keliaran bangsa Arab berhasil diatasi. Muhammad dengan agama yang dibawanya ternyata berhasil memberikan pancaran cahaya kepada jutaan hati manusia sehingga mereka hidup damai dalam naungan kepemimpiriannya.
       Keberhasilan Nabi Muhammad mengubah struktur kehidupan bangsa Arab bukan melalui ayunan pedang sebagaimana dituduhkan oleh orientalis Barat, tetapi dilatarbelakangi oleh kepemimpinan yang bijak bestari. Nabi benar-benar menjadi panutan (uswah) dan idola serta tumpuan umat. Sang tokoh yang kharismatik dan sempurna itu ternyata merupakan pemimpin yang amat demokratis sepanjang sejarah, bukan penganut ‘sistem kebangsaan’ yang sempit apalagi sukuisme (nepotis) yang picik. la tidak pernah memihak secara membabi buta terhadap siapa pun, termasuk terhadap putri kandungnya sendiri, Itulah antara lain tipologi kepemimpinan Nabi Muhammad SAW, pemimpin terbesar dan tersukses sepanjang zaman.
         Kesuksesannya dalam membawa panji-panji Islam tidak terletak pada singgasana yang gemerlapan, tetapi pada beberapa kekuatan dan keistimewaannya, antara lain phbadinya yang sederhana, merakyat (populis) dan bersahaja, tetapi sekaligus mengandung kekuatan dan pesona tersendiri. Berbeda dengan pemimpin-peminpin kaliber dunia yang tidak merakyat sehingga kurang dicintai rakyat, Nabi Muhammad SAW merupakan seorang pemimpin yang senantiasa merasakan suka duka kehidupan bersama rakyat yang dipimpinnya, sangat memahami aspirasi urhatnya dan selalu melayani mereka. la bukan tipe pemimpin yang berwatak menara gading seperti kebanyakan pemimpin dan penguasa, yang hanya pandai berbicara dan menyalahkan orang lain yang dianggap tidak sesuai dengan jalan pikirannya sendiri. Nabi SAW benar-benar mau berintegrasi dengan umat tanpa pandang bulu.

Tauladan Paripurna

              Lebih dari itu, beliau selalu mengunjungi orang sakit tanpa memandang status sosial, di samping selalu ikut mengantar jenazah. Undangan dari budak untuk makan di gubuknya yang teramat bersahaja, biasanya takkan dilayani seorang penguasa. Tetapi Nabi Muhammad SAW justru melayaninya. Bahkan pakaiannya yang koyak dijahitnya sendiri, walaupun kalau ia mau, ia dapat saja menyuruh orang mengerjakannya. Kalau berjabat tangan, Nabi tidak pernah lebih dulu menarik tangannya dari genggaman tangan orang lain. Nabi juga tidak pernah berpaling sebelum orang lain berpaling darinya. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan Al Quran: “Sungguh pada diri Rasulullah kamu dapatkan sun tauiadan yang indah, (ya’rtu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat)’ Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS al-Ahzab : 21)
Dengan demikian menjadi jelas bagi kita bahwa integritas Nabi Muhammad sebagai utusan Allah benar-benar mengagumkan, sehingga Khurshid Ahmad di dalam bukunya The Religion of Islam, tegas-tegas menyatakan; “Saya yakin seyakin-yakinnya bahwa kalau orang seperti Muhammad diserahi tanggung jawab sebagai pimpinan tunggal dunia modern ini, dia pasti akan berhasil memecahkan semua persoalan yang pada gilirannya akan membawa dunia ke arah perdamaian dan kebahagiaan…”.
             Juga tidak berlebihan apa yang dikatakan Michael H, Hart dalam bukunya, The 1OO : A Rangking on The Most Influential Person in History (1978): “He was the only man history who was supremely succesful on both the religious and secular level.” (Muhammad) adalah satu-satunya manusia dalam sejarah yang berhasil dengan gemilang, baik dalam bidang keagamaan maupun keduniaan). Komentar senada sebenarnya masih banyak sekali seperti komentar Sir Herbert Spencer (Inggris), Karl Henrich Baker (Jerman), Mahatma Gandi, Jawaharlal Nehru dan lain-lainnya.
Tugas kita sebagai umat sekaligus pewaris agama yang dibawa Muhammad adalah meneladani secara kaffah segi-segi kepribadian dan kepemimpinannya untuk kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari yang penuh tantangan ini.

Ajang Dakwah

            Dalam hubungan ini, kalangan yang sangat anti terhadap kegiatan mengkaji perjuangan Nabi (peringatan maulid Nabi), dimohon semoga tidak mencaci maki atau mencela kegiatan tersebut, Sebab pekerjaan lain yang bermanfaat masih sangat banyak. Daripada saling mengejek sesama saudara seiman, tentu lebih baik saling mengingatkan akan ancaman musuh-musuh Islam yang terus menerus mengerogoti umat Islam. Sudah tiba saatnya sesama umat Islam tidak saling mencurigai, saling mengejek, saling membid’ahkan dan saling membenci. Sebaliknya sudah tiba saatnya sesama umat Islam dari berbagai aliran menyatukan langkah. merapatkan barisan dan berjuang saling bahu membahu untuk meraih kemajuan.
          Berdakwah merupakan salah satu perintah Allah yang tak dapat ditawar-tawar. Untuk dapat melaksanakan dakwah, semua kesempatan perlu dimanfaatkan. Bahkan kalau perlu diciptakan. Sebenarnya peluang dakwah ada yang sudah diciptakan sebelumnya, di antaranya melalui momentum peringatan hari-hari besar Islam, termasuk peringatan maulid Nabi.
         Kenyataan membuktikan belum pernah terjadi orang jadi mabuk atau gila atau rusak akidahnya hanya karena ia menghadiri dan memperhatikan tausiah melalui peringatan maulid Nabi, Bahkan sebaliknya dari peringatan maulid Nabi, seseorang atau banyak orang mendapatkan pelajaran, yang nilainya dapat mereka terapkan di dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan orang-orang yang setiap hari super sibukdan buta Islam sertatak sempat mempelajari Islam, bisa mengetahui banyak dari tausiah yang disampaikan pada peringatan maulid Nabi itu. Malah tak mustahil, seseorang langsung bertobat kepada Allah setelah mendengarkan tausiah yang benar-benar menghunjam ke dalam lubuk hatinya.
Melalui kegiatan peringatan maulid itu, masyarakat kembali diingatkan akan kelahiran seorang Nabi yang membawa manusia kepada keadaan yang terang benderang, dengan harapan memberikan kekuatan dan kesejukan jiwa kepada semua komponen masyarakat. Banyak pesan-pesan islami dapat disampaikan melalui peringatan maulid. Dan terkadang, di penghujung acara, dilakukan pemberian santunan untuk kalangan fakir miskin dan anak-anak yatim piatu yang tak mampu. Bukankah ini merupakan manifestasi dari perintah membantu fakir miskin dan kaum lemah lainnya?
Yang dilakukan dalam memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW itu bukan hura-hura, tetapi umat Muslim berkumpul untuk mendengarkan pembacaan Al Quran, membaca kembali kisah-kisah perjuangan Rasulullah SAW, mukjizatnya, akhlaknya yang mulia dan seterusnya, Tujuannya antara lain adalah agar umat dapat meneladani sifat-sifat terpuji Rasulullah tersebut dan mengamalkannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Sebab pribadi dan kepemimpinan Nabi menjadi sangat relevan diterapkan pada masa sekarang. Bahkan bila dilaksanakan sungguh-sungguh oleh semua pribadi Muslim, maka akan membantu bangsa ini keluar dari keterpurukan.

0 komentar:

Posting Komentar