Di Banten, misalnya, ribuan orang mendatangi kompleks Masjid
Agung Banten yang terletak 10 km arah utara pusat Kota Serang. Mereka berziarah
ke makam para sultan, antara lain Sultan Hasanuddin, secara bergiliran.
Sebagian di antaranya berendam di kolam masjid itu, konon katanya, untuk
mendapat berkah. Ada di antara mereka yang sengaja mengambil air kolam tersebut
untuk dibawa pulang sebagai obat. Perbuatan ini tentu tidak ada dasarnya di
dalam Al Quran dan Sunnah.
Di Cirebon, pada tanggal 11-12 Rabiul Awal banyak orang
Islam datang ke makam Sunan Gunung Jati, salah seorang dari wali sanga,
penyebar agama Islam di kawasan Jawa Barat dan Banten. Biasanya di Keraton
Kasepuhan diselenggarakan upacara Panjang Jimat, yakni memandikan pusaka-pusaka
keraton peninggalan Sunan Gunung Jati. Banyak orang berebut untuk memperoleh
air bekas cucian tersebut, karena dipercaya akan membawa keberuntungan. Ini
jelas syirik yang wajib dikikis habis. Di Cirebon, Yogyakarta, dan Surakarta,
perayaan maulid dikenal dengan istilah sekaten. Istilah ini berasal dari
kata syahadatain, yaitu dua kalimat syahadat. Kemeriahan serupa juga bisa
didapati di Sumatera Barat, Aceh, Lombok, dan tempat-tempat lainnya di
Indonesia. Namun, selain peringatan maulid secara meriah dengan melibatkan
massa dalam jumlah besar, berlangsung pula perayaan maulid di masjid-masjid
kecil yang melibatkan sekelompok kecil masyarakat.
Kitab Al-Barjanzi
Dalam rangkaian acara itu, baik yang akbar maupun yang
biasa-biasa saja, ada satu sesi yang tidak pernah tertinggal bahkan seolah
menjadi syaral penting, yaitu pembacaan karya tulis Kitab al-Barzanji. Barzanji
adalah karya tulis seni sastra yang isinya mengungkap sejarah kehidupan Nabi
Muhammad SAW. mencakup silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, pemuda,
hingga diangkat menjadi Rasul.
Karya tulis dalam bahasa Arab ini juga mengisahkan
sifat-sifat mulia Nabi Muhammad dan akhlak-akhlak luhurnya sebagai utusan
Allah, serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia, khususnya
umat Islam. Nama Barzanji diambil dari nama pengarang naskah tersebut yakni
Syekh Ja’far al-Barzanji bin Husin bin Abdul Karim, Dia lahir di Madinah pada
tahun 1690 dan meninggal tahun 1766, Barzanji berasal dari nama sebuah tempat
di Kurdistan, Barzinj.
Karya tulis tersebut sebenarnya berjudul ‘Iqd al-Jawahir
(Kalung Permata) yang disusun untuk meningkatkan kecintaan kepada Nabi Muhammad
SAW. Tetapi kemudian lebih terkenal dengan nama penulisnya. Pada perkembangan
berikutnya, vpembacaan Barzanji di kalangan Muslim tradisional, dilakukan pada
berbagai momentum sebagai sebuah pengharapan untuk pencapaian sesuatu yang
lebih baik. Misalnya pada saat kelahiran bayi, mencukur rambut bayi (akikah),
acara khitanan, pernikahan, dan upacara lainnya.
Untuk mendapatkan buku itu tidaklah sukar. Bahkan sekarang
ini sudah banyak beredar dengan terjemahannya. Pada sebagian masyarakat,
pembacaan Barzanji juga dilakukan bersamaan dengan “diestafetkannya” bayi yang
baru dicukur selama satu putaran dalam lingkaran. Sementara baju atau kain
orang-orarig yang sudah memegang bayi tersebut, kemudian disemprot atau diberi
setetes dua tetes minyak wangi. Namun saat ini perayaan maulid seperti itu
sudah berkurang dan lebih terfokus di pesantren-pesantren kalangan Nahdlatul
Ulama (Nahdliyin).
Awal Mula Peringatan Maulid
Menurut catatan sejarah, peringatan maulid Nabi Muhammad SAW
pertama kali diperkenalkan seorang penguasa Dinasti Fatimiyah (909-117 M). Jauh
sebelum al-Barzanji lahir dan menciptakan puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW.
Langkah ini secara tidak langsung dimaksudkan sebagai sebuah penegasan kepada
khalayak, bahwa dinasti ini betul-betul keturunan Nabi Muhammad SAW. Setidaknya
ada dimensi politis dalam kegiatan tersebut.
Peringatan maulid kemudian menjadi sebuah upacara yang kerap
dilakukan umat Islam di berbagai belahan dunia. Hal itu terjadi setelah Abu
Sa’id al-Kokburi, Gubernur Irbil, Irak, mempopulerkannya pada masa pemerintahan
Sultan Shalahuddin al-Ayyubi (1138-1193M). Waktu itu tujuannyauntuk memperkokoh
semangat keagamaan umat Islam umumnya, khususnya mental para tentara yang
lengah bersiap menghadapi serangan tentara Salib dari Eropa, yang ingin merebut
tanah suci Jerusalem dari tangan kaum Muslimin.
Menurut sumber lain, orang pertama yang mencetuskan ide
memperingati maulid Nabi SAW justru Malik Mudzaffar Abu Said, yang lebih
dikenal sebagai Sultan Shalahuddin al-Ayyubi (orang Inggris menyebutnya
Saladin). Pemuka Islam yang kharismatik ini pernah mengundang pujangga terkenal
AI-Hafidz Ibnu Dahiah untuk menggubah naskah riwayat singkat perjuangan Nabi
Muhammad SAW. Naskah itu kemudian diberi judul At-Janwir If Maulid al-Basyir
an-Nashir dan Ibnu Dahiah diberi honorarium 1000 dinar.
Peringatan maulid perdana yang diadakan oleh Malik Mudzaffar
ternyata menimbulkan surprise pada banyak kalangan. Betapa tidak! Kala itu
Malik mengundang para ulama, para sufi dan kalangan pemuka dan pembesar beserta
masyarakat Islam lainnya untuk ikut menyemarakkan peringatan hari kelahiran
Nabi Muhammad SAW tersebut. Dalam peringatan besar-besaran itu di sembelih 5OOO
ekor kambing, 1O.OOO ekor ayam dan dimasak 1OOO.OOO roti bermentega. Konon
biaya keseluruhan peringatan itu mencapai 3OOO.OOO dinar, selain honorarium
penulisan naskah di atas. (HA Fuad Said, Yayasan Masagung, 1985).
Dalam peringatan itu seorang sufi terkenal. Syekh Hasan
Bashri berkomentar: “Seandainya saya memiliki mas sebesar bukit Uhud niscaya
akan saya sumbangkan seluruhnya untuk keperluan peringatan Maulid Nabi Muhammad
SAW….” Banyak kalangan berpendapat bahwa ungkapan dan pujian tersebut tidak
berlebihan kalau diukur dan dibandingkan dengan koberhasilan Nabi Muhammad SAW
membawa manusia dari peradaban jahili menuju peradaban islami.
Sikap Pro dan Kontra
Namun penyelenggaraan peringatan maulid Nabi Muhammad bukan
tanpa masalah, Sepanjang sejarahnya, sikap pro dan kontra terhadap Eradisi ini
selalu timbul. Ulama mazhab Syafi’i secara legas mengungkapkan dukungan dan
menganggap hal itu sebagai sesuatu yang sah-sah saja dilakukan, Tetapi ulatna
dari mazhab Maliki menolak dengan berbagai argumentasi.
Kedua pihak menyampaikan pemikiran melalui kitab-kitab yang
mereka tulis secara panjang lebar. Belakangan “kaum reformis” seperti golongan
Wahhabi pun menyatakan peringatan itu sebagai perbualan mengada-ada atau bid’ah
(Enton Supriyatna). Perdebatan dan sikap pro-kontra tersebut sampai pula ke
Indonesia. Tidak jarang perbedaan pendapat soal yang satu ini diteruskan dengan
perang mulut atau saling ejek.
Tema ini satu paket dengan soal tahlilan ketika ada yang
meninggal atau doa qunut saat shalat subuh. Bahkan di beberapa tempat merambah
juga ke persoalan boleh tidaknya di masjid ada bedug. Pernah lerjadi perbedaan
pendapat soal bedug, mengakibatkan sejumlah kulit bedug dirobek pihak yang
menolak keberadaan alat penanda waktu shalat tersebut
Jika dilacak lewat berbagai dokumentasi, selisih paham tentang peringatan maulid yang cukup tajam terjadi dalam rentang waktu sebelum tahun 1970-an. Pada era sekarang perbedaan itu tidak terlalu menonjol, namun tetap tidak menghilang dari wacana kaum Muslimin. Secara sporadis diskusi terbuka tentang peringatan maulid nabi muncul dalam ruang yang terbatas.
Jika dilacak lewat berbagai dokumentasi, selisih paham tentang peringatan maulid yang cukup tajam terjadi dalam rentang waktu sebelum tahun 1970-an. Pada era sekarang perbedaan itu tidak terlalu menonjol, namun tetap tidak menghilang dari wacana kaum Muslimin. Secara sporadis diskusi terbuka tentang peringatan maulid nabi muncul dalam ruang yang terbatas.
Salah satu sasaran kritik terhadap perayaan maulid Nabi di
Indonesia, adalah masuknya nilai-nilai lain yang justru dianggap akan merusak
makna maulid itu sendiri. Misalnya kegiatan peringatan itu bercampur dengan
upacara-upacara berbau mistik atau tradisi khas budaya Islam Jawa, atau
digelarnya panggung hiburan yang mempertontonkan sesuatu yang berlawanan dengan
nilai yang dibawa Nabi Muhammad, seperti dangdut erotis, judi, memandikan
pusaka yang dianggap jimat, dan hal lainnya.
Al Quran memang tidak memerintahkan secara ekspiisit agar
umat Islam mem peri ngati maulid Nabi Muhammad setiap tanggal 12 Rabiul Awal
dengan perayaan atau seremonial tertentu. Allah dan RasulNya juga tidak
memerintahkan umat Islam setiap tahun mem peri ngati hari Hijrah, hari Isra’
Mi’raj, hari watat Nabi dan hari-hari bersejarah lainnya. Namun andaikata
peringatan maulid Nabi itu diadakan dengan cara-cara yang islami dan dengan
tujuan yang postif untuk syi’ar dan dakwah agama, tentunya perbuatan itu bukan
termasuk bid’ah. Sebab yang dapat dikatakan bid’ah menurut kesepakatan Ulama
hanyalah melakukan rekayasa dalam ibadah mahdhah, seperti shalat fardhu,
sedangkan memperingati maulid Nabi Muhammad bukan termasuk ibadah mahdhah.
Firman Allah: “Semua kisah para Rasul, Kami ceritakan
kepadamu; yaitu kisah-kisah yang derigannya Kami teguhkan hatimu; telah datang
kepadamu kebenaran, pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.”
(QS Hud : 120)
Ayat ini memberi pengertian kepada kita, bahwa membaca dan
membacakan kisah para Rasul Allah serta mengambil hikmah darinya, dapat
meneguhkan iman kita. Dengan demikian, mengadakan peringatan maulid Nabi SAW
dengan cara mengungkapkan kembali kisah perjuangannya termasuk manifestasi
mengamalkan firman Allah tadi.
Pembaruan Pandangan Hidup
Nabi Muhammad merupakan sosok pemimpin yang diutus di
tengah-tengah masyarakat ‘barbar’ yang sama sekali tidak mengenal kode etik
kemanusiaan. Masyarakat kala itu tidak mempunyai pandangan hidup yang jelas.
Akidah kabur, moral bejat, wanita hanya menjadi komoditi kepuasan natsu rendah
dan serakah dan lain sebagainya. Tegasnya, abad itu di kenal dengan sebutan
dark ages, di mana yang kuat menindas yang lemah, sementara yang berkuasa
menunggang rakyatnya.
Dengan diutusnya Nabi Muhammad SAW oleh Allah dalam waktu
yang relatif singkat, yaitu 23 tahun (13 tahun di Makkah, 11 di Madinah),
masyarakat Arab yang sama sekali tidak mengenal tatakrama kehidupan itu dengan
izin Allah ternyata berubah secara drastis. Mereka ternyata bersatu. Yang
semula menjadi lawan akhirnya menjadi kawan dan bersaudara di bawah panji-panji
Tauhid, Juga yang semula kacau dan bermusuhan, akhirnya menjadi tenang dan
damai. Yang semula takabur akhirnya menjadi rendah hati. Mereka dapat bersatu
bukan karena faktor nasionalisme, tetapi karena faktor akidah, di bawah
panji-panji Islam yang memiliki prinsip ajaran universal dan kosmopolitan
(rahmatan lil ‘alamin).
Tak berlebihan apayang dikatakan Syekh Khaiil Yasin di dalam
bukunya, Muhammad ‘Inda al- Viama-ial-Harb, dengan mengutip pendapat George
Toldes bahwa dengan datangnya Muhammad, kebiadaban dan keliaran bangsa Arab
berhasil diatasi. Muhammad dengan agama yang dibawanya ternyata berhasil
memberikan pancaran cahaya kepada jutaan hati manusia sehingga mereka hidup
damai dalam naungan kepemimpiriannya.
Keberhasilan Nabi Muhammad mengubah struktur kehidupan
bangsa Arab bukan melalui ayunan pedang sebagaimana dituduhkan oleh orientalis
Barat, tetapi dilatarbelakangi oleh kepemimpinan yang bijak bestari. Nabi
benar-benar menjadi panutan (uswah) dan idola serta tumpuan umat. Sang tokoh
yang kharismatik dan sempurna itu ternyata merupakan pemimpin yang amat
demokratis sepanjang sejarah, bukan penganut ‘sistem kebangsaan’ yang sempit
apalagi sukuisme (nepotis) yang picik. la tidak pernah memihak secara membabi
buta terhadap siapa pun, termasuk terhadap putri kandungnya sendiri, Itulah
antara lain tipologi kepemimpinan Nabi Muhammad SAW, pemimpin terbesar dan
tersukses sepanjang zaman.
Kesuksesannya dalam membawa panji-panji Islam tidak terletak
pada singgasana yang gemerlapan, tetapi pada beberapa kekuatan dan
keistimewaannya, antara lain phbadinya yang sederhana, merakyat (populis) dan
bersahaja, tetapi sekaligus mengandung kekuatan dan pesona tersendiri. Berbeda
dengan pemimpin-peminpin kaliber dunia yang tidak merakyat sehingga kurang
dicintai rakyat, Nabi Muhammad SAW merupakan seorang pemimpin yang senantiasa
merasakan suka duka kehidupan bersama rakyat yang dipimpinnya, sangat memahami
aspirasi urhatnya dan selalu melayani mereka. la bukan tipe pemimpin yang
berwatak menara gading seperti kebanyakan pemimpin dan penguasa, yang hanya
pandai berbicara dan menyalahkan orang lain yang dianggap tidak sesuai dengan
jalan pikirannya sendiri. Nabi SAW benar-benar mau berintegrasi dengan umat
tanpa pandang bulu.
Tauladan Paripurna
Lebih dari itu, beliau selalu mengunjungi orang sakit tanpa
memandang status sosial, di samping selalu ikut mengantar jenazah. Undangan
dari budak untuk makan di gubuknya yang teramat bersahaja, biasanya takkan
dilayani seorang penguasa. Tetapi Nabi Muhammad SAW justru melayaninya. Bahkan
pakaiannya yang koyak dijahitnya sendiri, walaupun kalau ia mau, ia dapat saja
menyuruh orang mengerjakannya. Kalau berjabat tangan, Nabi tidak pernah lebih
dulu menarik tangannya dari genggaman tangan orang lain. Nabi juga tidak pernah
berpaling sebelum orang lain berpaling darinya. Hal ini sesuai dengan apa yang
diungkapkan Al Quran: “Sungguh pada diri Rasulullah kamu dapatkan sun tauiadan
yang indah, (ya’rtu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat)’ Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS al-Ahzab : 21)
Dengan demikian menjadi jelas bagi kita bahwa integritas
Nabi Muhammad sebagai utusan Allah benar-benar mengagumkan, sehingga Khurshid
Ahmad di dalam bukunya The Religion of Islam, tegas-tegas menyatakan; “Saya
yakin seyakin-yakinnya bahwa kalau orang seperti Muhammad diserahi tanggung
jawab sebagai pimpinan tunggal dunia modern ini, dia pasti akan berhasil
memecahkan semua persoalan yang pada gilirannya akan membawa dunia ke arah
perdamaian dan kebahagiaan…”.
Juga tidak berlebihan apa yang dikatakan Michael H, Hart
dalam bukunya, The 1OO : A Rangking on The Most Influential Person in History
(1978): “He was the only man history who was supremely succesful on both the religious
and secular level.” (Muhammad) adalah satu-satunya manusia dalam sejarah yang
berhasil dengan gemilang, baik dalam bidang keagamaan maupun keduniaan).
Komentar senada sebenarnya masih banyak sekali seperti komentar Sir Herbert
Spencer (Inggris), Karl Henrich Baker (Jerman), Mahatma Gandi, Jawaharlal Nehru
dan lain-lainnya.
Tugas kita sebagai umat sekaligus pewaris agama yang dibawa
Muhammad adalah meneladani secara kaffah segi-segi kepribadian dan
kepemimpinannya untuk kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari yang penuh
tantangan ini.
Ajang Dakwah
Dalam hubungan ini, kalangan yang sangat anti terhadap
kegiatan mengkaji perjuangan Nabi (peringatan maulid Nabi), dimohon semoga
tidak mencaci maki atau mencela kegiatan tersebut, Sebab pekerjaan lain yang
bermanfaat masih sangat banyak. Daripada saling mengejek sesama saudara seiman,
tentu lebih baik saling mengingatkan akan ancaman musuh-musuh Islam yang terus
menerus mengerogoti umat Islam. Sudah tiba saatnya sesama umat Islam tidak
saling mencurigai, saling mengejek, saling membid’ahkan dan saling membenci.
Sebaliknya sudah tiba saatnya sesama umat Islam dari berbagai aliran menyatukan
langkah. merapatkan barisan dan berjuang saling bahu membahu untuk meraih
kemajuan.
Berdakwah merupakan salah satu perintah Allah yang tak dapat
ditawar-tawar. Untuk dapat melaksanakan dakwah, semua kesempatan perlu
dimanfaatkan. Bahkan kalau perlu diciptakan. Sebenarnya peluang dakwah ada yang
sudah diciptakan sebelumnya, di antaranya melalui momentum peringatan hari-hari
besar Islam, termasuk peringatan maulid Nabi.
Kenyataan membuktikan belum pernah terjadi orang jadi mabuk
atau gila atau rusak akidahnya hanya karena ia menghadiri dan memperhatikan
tausiah melalui peringatan maulid Nabi, Bahkan sebaliknya dari peringatan
maulid Nabi, seseorang atau banyak orang mendapatkan pelajaran, yang nilainya
dapat mereka terapkan di dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan orang-orang yang
setiap hari super sibukdan buta Islam sertatak sempat mempelajari Islam, bisa
mengetahui banyak dari tausiah yang disampaikan pada peringatan maulid Nabi
itu. Malah tak mustahil, seseorang langsung bertobat kepada Allah setelah
mendengarkan tausiah yang benar-benar menghunjam ke dalam lubuk hatinya.
Melalui kegiatan peringatan maulid itu, masyarakat kembali
diingatkan akan kelahiran seorang Nabi yang membawa manusia kepada keadaan yang
terang benderang, dengan harapan memberikan kekuatan dan kesejukan jiwa kepada
semua komponen masyarakat. Banyak pesan-pesan islami dapat disampaikan melalui
peringatan maulid. Dan terkadang, di penghujung acara, dilakukan pemberian
santunan untuk kalangan fakir miskin dan anak-anak yatim piatu yang tak mampu.
Bukankah ini merupakan manifestasi dari perintah membantu fakir miskin dan kaum
lemah lainnya?
Yang dilakukan dalam memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW
itu bukan hura-hura, tetapi umat Muslim berkumpul untuk mendengarkan pembacaan
Al Quran, membaca kembali kisah-kisah perjuangan Rasulullah SAW, mukjizatnya,
akhlaknya yang mulia dan seterusnya, Tujuannya antara lain adalah agar umat
dapat meneladani sifat-sifat terpuji Rasulullah tersebut dan mengamalkannya
secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Sebab pribadi dan kepemimpinan Nabi
menjadi sangat relevan diterapkan pada masa sekarang. Bahkan bila dilaksanakan
sungguh-sungguh oleh semua pribadi Muslim, maka akan membantu bangsa ini keluar
dari keterpurukan.
0 komentar:
Posting Komentar